Entri Populer

Kamis, 14 Oktober 2010

Pipo dan Embro

Alkisah hiduplah dua orang bersaudara bernama Pipo dan Embro. Keduanya hidup dalam lingkungan yang keras. Bagaimana tidak. Mereka dilahirkan di dalam keluarga yang sangat miskin. Dan parahnya, mereka tinggal di daerah yang miskin pula. Sebuah desa yang tandus dan setiap tahun mengalami kekeringan panjang. Hujan yang hanya sesekali turun merupakan anugerah yang berlimpah dari Tuhan. Pipo dan Embro kecil rajin membantu kedua orang tuanya. Biasanya mereka mengambil air untuk keperluan sehari-hari dari bukit sebelah desa yang jaraknya lumayan jauh. Sekolah hanya bagi mereka yang punya duit, begitulah kenyataan yang harus dialami oleh mereka. Bukan hanya mereka saja, teman-teman sebaya mereka juga mangalami nasib yang sama. Hidup bagi mereka adalah berjuang. Berjuang untuk bertahan di tanah tandus, agar tetap bisa makan, agar tetap melihat hari esok.

Menginjak remaja Pipo menjelma menjadi seorang pemuda cungkring (=kurus sekali). Tubuhnya tidaklah bisa dibilang ideal apa lagi atletis. Nyaris, tak ada wanita sepantarannya yang mau meliriknya apalagi menjadi pacarnya. Lain halnya dengan Embro, meskipun sama-sama melarat dan makan singkong rebus hampir tiap hari ternyata Dia tumbuh menjadi sosok pemuda yang bertubuh tinggi besar. Jika dia hidup di kota besar mungkin dia berbakat menjadi artis atau mungkin menjadi pasukan pengawal presiden. Meskipun demikian, Pipo yang cungkring dikaruniakan oleh Tuhan otak yang cerdas. Dia bisa berfikir cerdas dan cepat. Dia bisa dengan cepat belajar dari lingkungan sekitarnya. Berbeda dengan Embro yang meskipun badannya besar tapi oon (baca=dedel atau kurang cerdas). Embro sangat lambat dalam mempelajari sesuatu.

Ketika menginjak dewasa, desa tempat mereka tinggal dilanda kekeringan panjang. Banyak lahan menjadi kering kerontang, ternak banyak yang mati, dan mungkin kalo manusianya tidak ditolong oleh Tuhan juga akan mati. Tuhan masih menyayangi mereka dengam memberikan sebuah sumber air, tapi lokasinya jauh di kaki gunung. Saat itu tiba-tiba air menjadi barang yang sangat mahal. Orang-orang rela menukar ketela, padi, jagung dan hasil tani lainnya demi mendapatkan air. Tentu saja hal ini tidak disia-siakan oleh Pipo dan Embro. Mereka menemukan ide untuk menjual air ke tetangga kanan kiri. Tentu saja dengan mengambil dari sumber mata air yang jauh tempatnya di kaki gunung. Embro yang punya badan yang kuat tentu saja mampu membawa lebih banyak air dalam ember. Sedangkan Pipo yang memiliki badan cungkring hanya mampu membawa sedikit air dalam ember.

Beberapa tahun kemudian, Embro menjadi kaya karena mampu menjual lebih banyak air dibandingkan dengan Pipo. Pipo yang “cerdas” berfikir bagaimana caranya agar Dia yang tidak memiliki fisik yang bagus juga mampu membawa air lebih banyak untuk warga desanya. Dia menemukan ide untuk membangun sebuah saluran air dari bambu yang disambung seperti pipa pralon. Setiap hari di sela-sela waktunya menjual beberap ember air, Pipo membangun saluran airnya. Embro yang melihat Pipo mengejek dan mengatakan kalau Pipo melakukan hal-hal yang sia-sia. Tapi Pipo tetap tekun dan sabar membangun saluran air untuk warga desa desa.

Waktu terus berlalu hingga tibalah masa mereka menjadi tua. Saat itulah instalaasi air yang dibangun oleh Pipo selesai. Pipa bambu itu mampu mengalirkan air yang jauh dari bawah kaki gunung menuju bak penampungan di dekat desa. Warga pun tertolong karena Pipo tidak mengkomersilkan air tersebut. Sebagai balas budi atas jasa Pipo membangun saluran air, Pipo didaulat menjadi Kepala Desa. Lalu, bagaimanakah kabar Embro? Ternyata Embro sudah kehabisan tenaga karena usia yang semakin tua. Kalau dulu sewaktu muda Dia mampu mengangkat ember besar, kini bahkan ia tidak mampu membawa ember kecil sekali jalan. Saat tua itulah baru Dia sadar tentang jalan pikir Pipo mengapa dulu Dia membangun saluran air. Embro pun berterima kasih kepada Pipo atas “kecerdasan” dan keikhlasannya memberikan air yang melimpah untuk dirinya dan warga desa.

Kawan, ada beberapa pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari cerita Saya di atas. Sebuah pelajaran hidup yang berharga agar kita mampu lebih bijak dalam mensikapi hidup ini.

Pertama, bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda. Semuanya diciptakan dalam keadaan yang baik. Tentu saja masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Seperti Embro ditakdirkan bertubuh besar tapi “Oon”, dan Pipo yang cungkring tapi “cerdas”. Manusia yang sombong adalah yang tidak mau menerima apa yang telah Tuhan tetapkan untuk dirinya. Sebaliknya, manusia yang bersyukur adalah yang mau menerima apa yang Tuhan berikan kepadanya. Sebab dibalik semua kekurangan, Tuhan telah mengaruniakan kepada manusia kelebihan di sisi yang lain. Tidak perlu iri dengan apa yang dimiliki orang lain yang tidak atau belum ada pada diri kita. Sebab Tuhan Maha Adil dan Maha Bijaksana. Taka akan berlaku sembarangan kepada manusia ciptaanNya. Semuanya telah diukur sedemikian rupa hingga ada keseimbangan dalam kehidupan. Tugas kita adalah mendayagunakan semua anugerah kebaikan itu dalam kebaikan dan untuk kebaikan. So, TERIMALAH dan SYUKURILAH apa yang telah Tuhan tetapkan untuk kita.

Kedua, hendaknya manusia dalam berusaha memiliki pandangan yang jauh ke depan. Seperti Pipo yang sadar bahwa suatu saat akan tua. Dia berfikir jangka panjang bagaimana caranya agar kerjanya semakin efektif. Alhasil Dia membangun sebuah saluran air dari bambu yang dirangkai sebagai pipa panjang. Jangan seperti Embro yang hanya berfikiran jangka pendek. Sejengkal. Akhirnya dia kalah dengan perubahan yang terjadi. Manusia harus memiliki VISI, pandangan hidup yang jauh ke depan. VISI itu adalah MIMPI jangka panjang yang akan dikejar dalam hidupnya.

Ketiga, jika telah memiliki VISI hidup yang jelas hendaknya kita pandai berINVESTASI jangka panjang. Investasi tidak harus uang, tetapi bisa dalam bentuk tenaga dan pikiran. Asal dilakukan dengan cerdas dan konsisten, investasi sekecil apapun akan mendatangkan hasil. Seperti Pipo yang setiap hari menyambung bambunya sedikit demi sedikit. Akhirnya Dia mendapatkan apa yang dicita-citakan.

Keempat, berSABARlah dalam bercita-cita. Bersabarlah dalam menjalankan rencana. Semuanya butuh proses. Jangan dulu menyerah, sebab ketika kita hendak menyerah saat itulah sebenarnya kita telah dekat dengan cita-cita kita. Andaikata Pipo tidak bersabar dengan ejekan Embro, tentu Dia tidak akan meneruskan “proyek” pipa bambunya.

Kelima, ketika kita berjaya JANGAN LUPA dari mana asal kita. Pipo yang berhasil membuat saluran air untuk warga desa, tidak lupa bahwa dia adalah anak petani desa yang miskin. Dia tidak sombong. Terhadap Embro yang sering mengejeknya Dia pun tidak dendam. Bahkan dia mau memaafkan, memaklumi, dan tetap menerima Embro sebagai saudara.

Keenam, IKHLASlah ketika mengerjakan sesuatu. Sebab Tuhan tidak akan menerima amal pekerjaan seseorang kecuali yang dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas berarti menyerahkan semua balasan hanya dari Tuhan. Ketika manusia ikhlas, Dia tidak akan mengharapkan balasan dari makhluk. Dia tidak akan kecewa jika kebaikan yang telah ditanam tidak dibalas manusia. Sebab hanya Tuhanlah satu-satunya tempat meminta balasan. Ikhlas akan menghadirkan kekuatan yang besar, sebab ada Tuhan dibalik Dia. Ingatlah Embro yang telah mengikhlaskan proses dan hasil kerjanya. Dia memberikan saluran air itu kepada warga desa. Dari sana Dia diangkat menjadi Kepala Desa. Dia dicintai rakyatnya, dan memimpin dengan kondisi hati yang tenang dan senang.

1 komentar:

  1. sungguh cerita yang memotivasi. terima kasih mas jauhari. saya tunggu tulisan anda selanjutnya.

    BalasHapus

Rekan, silahkan berkomentar di blog Zali Jauhari.